“Anak Haram” Bernama Indonesia

Sabtu, Agustus 09, 2008
credit to : http://www.myrmnews.com/



Oleh: Batara R. Hutagalung, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda

DALAM upaya menegakkan kembali penjajahannya di bumi Nusantara, Belanda mengirim sekitar 150. serdadu--sebagian besar pemuda wajib militer--dari Belanda, dan merekrut sekitar 60 ribu pribumi menjadi serdadu KNIL.

Tindakan Belanda mengirim tentaranya ke suatu negara yang merdeka dan berdaulat jelas merupakan suatu agresi militer. Selama masa agresi militer tersebut, tentara Belanda banyak melakukan kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan berbagai pelanggaran HAM berat.

Ratusan ribu rakyat Indonesia, sebagian terbesar adalah rakyat (noncombatant) tewas dalam berbagai pembantaian massal, seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan, Rawagede, Kranggan (dekat Temanggung), dll.

Berbagai pelanggaran berat HAM, kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Belanda selama masa agresi militer Belanda di Indonesia, hingga kini tidak pernah dibahas, baik di tingkat bilateral Indonesia – Belanda, maupun di tingkat internasional.

Setelah Cultuurstelsel, Poenale Sanctie dan Exorbitante Rechten, Westerling adalah hal terburuk yang "dibawa" Belanda ke Indonesia. Mungkin bab mengenai Westerling termasuk lembaran paling hitam dalam sejarah Belanda di Indonesia. Yang telah dilakukan oleh Westerling serta anak buahnya adalah war crimes (kejahatan perang) dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang sangat berat.

Aksi Westerling ini sebagian besar dengan sepengetahuan dan bahkan dengan ditolerir oleh pimpinan tertinggi militer Belanda. Pembantaian penduduk di desa-desa di Sulawesi Selatan adalah kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity).

Menurut International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda, crimes against humanity adalah kejahatan terbesar kedua setelah genocide (pembantaian etnis). Belanda dan negara-negara Eropa yang menjadi korban keganasan tentara Jerman selama Perang Dunia II selalu menuntut, bahwa untuk pembantaian massal atau pun kejahatan atas kemanusiaan, tidak ada kadaluarsanya. Di sini negara-negara Eropa tersebut ternyata memakai standar ganda, apabila menyangkut pelanggaran HAM yang mereka lakukan.

Pada 16 Agustus 2006 di Jakarta, Menlu Ben Bot mengakui, agresi militernya, telah menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang salah. Akibat agresi militer ini, ratusan ribu rakyat Indonesia tewas dibantai oleh tentara Belanda. Namun hingga kini Pemerintah Belanda tidak pernah memperhatikan, apalagi memberikan kompensasi kepada keluarga/janda korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda.

Pemerintah Belanda juga tidak mau meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan dan berbagai pelanggaran HAM berat. Menlu Belanda hanya menyatakan penyesalan (regret) dan bukan permintaan maaf (apology). Radio Nederland sendiri pada 17 Agustus 2005 menyiarkan berita mengenai ucapan Menlu Belanda Ben Bot di Jakarta dengan judul: “Sedih. Tapi Tidak Minta Maaf.”

Juga anehnya bukan Pemerintah Belanda yang memberikan kompensasi atas penjajahan, perbudakan, kejahatan perang dan berbagai pelanggaran HAM berat, melainkan Pemerintah Indonesia yang membayar kompensasi kepada Belanda. Sebagai hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, Republik Indonesia Serikat (RIS)--yang dipandang sebagai kelanjutan dari Hindia-Belanda (Nederlands Indië)--diharuskan membayar utang Nederlands Indië kepada Pemerintah Belanda sebesar 4,5 miliar Gulden.

Di dalamnya termasuk biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda untuk melancarkan agresi militer I pada 22 Juli 1947 dan agresi II pada 19 Desember 1948. Pemerintah RIS, kemudian setelah RIS dibubarkan dilanjutkan oleh Pemerintah RI, telah membayar sebesar 4 miliar gulden, sebelum dihentikan pembayarannya tahun 1956 oleh Pemerintah RI.

Bahkan Pemerintah Orde Baru di bawah Suharto pada tahun 1969 membayar kompensasi sebesar 350 juta US Dollar bagi perusahaan-perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi di masa pemerintahan Sukarno.

Juga, hingga hari ini, Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure hari kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi Pemerintah Belanda, hari kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika Pemerintah Belanda melimpahkan kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Baru sejak 17 Agustus 2005 Pemerintah Belanda bersedia menerima de facto kemerdekaan RI 17.8.1945.

Dalam acara peringatan menyerahnya Jepang kepada sekutu pada 15 Agustus 2005 di Belanda, Menlu Belanda Ben Bot mengatakan, “… sudah saatnya bagi Belanda untuk menerima secara de facto, bahwa kemerdekaan Republik Indonesia telah dimulai pada 17.8.1945, dan setelah 60 tahun menerima secara politis dan moral …”

Dengan demikian bagi Pemerintah Belanda, sampai 17 Agustus 2005 Republik Indonesia tidak pernah ada, dan baru setelah 17-8-2005 diterima secara de facto, bukan de jure.

Berarti, bagi Pemerintah Belanda, Republik Indonesia adalah negara yang tidak mempunyai legalitas, alias “anak haram”. Apakah rakyat Indonesia akan terus membiarkan penghinaan terhadap martabat bangsa seperti ini?

KUKB menuntut Pemerintah Belanda untuk mengakui secara yuridis (de jure) kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Belanda juga harus meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, pelanggaran berat HAM dan kejahatan atas kemanusiaan.

Terakhir, pemerintah Belanda memberikan kompensasi kepada keluarga korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara 1946-1949. [Tamat]

0 komentar: