Ketika Karl Marx Beragama Islam

Kamis, Juni 04, 2009

Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan saya
bersaksi bahwa keadilan dan kesetaraan adalah utusan
Allah

Salah, yang bener, Saya bersaksi tiada Tuhan selain
Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah.

Nggak mau, semua manusia itu utusan Allah.

Cak Nur geleng-geleng. Ya, yang geleng-geleng itu Cak
Nur, Nurcholish Madjid.
Siapa pula yang baru masuk
Islam tapi ngeyel itu.

Baiklah kalau maumu begitu, tapi ingat menjadi Islam
itu berat. Menebarkan keselamatan kepada semua makhluk
hidup, menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Baik, Kamerad

Hush, jangan panggil aku kamerad. Panggil aku Cak
Nur


Ya,Cak Nur.

Mengherankan, yang masuk Islam itu mempunyai tattoo
palu arit di lengannya.

Akhirnya mereka berdua berjalan-jalan. Tujuan mereka
ternyata sebuah pemukiman kumuh di pinggiran Jakarta.

Nah, Marx. Kau lihat sendiri nasib bangsaku ini,
mereka bermegah-megah dalam nama Islam, tetapi nasib
para miskin dan papa ini tidak diperhatikan sama
sekali. Politik hanyalah perkelahian memperebutkan
jabatan. Banyak partai berlandaskan Islam tapi
kelakuannya seperti partai berasaskan setan. Pesan
besar Muhammad tidak ada yang mengerti, yang mereka
mengerti hanya yang normatif saja, syahadat, sholat,
puasa, haji, sedangkan zakat pun kebanyakan lupa tidak
menunaikannya. Substansi ajaran dilupakan, ribut
sehari-hari masalah simbol. Kau lihat betapa masjid
bertebaran dimana-mana, tapi adakah masjid yang
menampung orang-orang miskin dan melindungi
orang-orang yang dizolimi, tidak ada Marx. Masjid itu
justru menzolimi mereka.

Oohh, ternyata yang bersama Cak Nur itu Marx, itu tuh
pendiri paham komunisme yang tersohor.

Islam itu indah Marx, seharusnya kau tahu itu dari
dulu. Islam berusaha mewujudkan masyarakat adil
makmur, dengan toleransi dan sistem sosialisme berupa
distribusi kesejahteraan yang jelas.

Cak Nur, sudahlah jangan berkhotbah. Agama yang telah
diinstitusionalisasi semuanya korup dan represif, aku
tidak tertarik agama semacam itu. AKu menjadi muslim
hanya karena aku paham keinginan Muhammad untuk
membentuk masyarakat sejahtera lahir batin, dengan
sistematis melalui strategi politik, walaupun dia
gagal. Keinginanku dan keinginannya tidak jauh
berbeda, dimana tidak kutemukan di pemimpin agama lain
baik itu Yesus, Musa, Zarathustra, bahkan Sidharta
sekalipun. Kebanyakan pemimpin agama hanya pasif dan
tidak bertindak strategis dan sistematik. Muhammad
menggabungkan kebertuhanannya dalam pesan membumi yang
jelas, aku sendiri belum tahu apakah Tuhan itu ada,
tapi yang jelas menjadi ateis seperti aku dulu juga
terlalu jauh.

Kau kira aku pun Islam?, jangan salah Marx. Jujur
saja ya, sebenarnya aku muak pula dengan Islam,
apalagi Islam konservatif ala Indonesia. Tapi
bagaimana lagi, aku bisa lebih berbuat untuk memajukan
bangsa ini kalau aku masih memakai label Islam, jika
aku keluar dari Islam terang-terangan, dengan gampang
mereka akan menyingkirkanku dari percaturan peradaban
Indonesia.

Lho, koq bisa..?

Kau jangan pura-pura gak tahu Marx. Literatur yang
kita baca gak terlalu jauh beda, aku pun banyak baca
bukumu Marx. Tapi sekali lagi hanya karena terlalu
kuatnya akar agama di Indonesia ini, aku terpaksa
memeluk Islam. Islam yang aku junjung tentu Islam
liberal, yang walaupun nafasnya tidak Islam, tetapi
masih dilabeli Islam. Tapi tetep, sejujurnya agama tak
menjadi masalah bagiku. Tapi juga jangan kira yang
seperti ini aku saja, aku punya banyak kawan lain yang
terpaksa bersembunyi ria dalam Islam. Gus Dur, Emha
Ainun Nadjib, Ulil Abshar Abdalla,
wah banyak sih
sebenarnya.

Kini Marx yang geleng-geleng kepala. Baru saja dia
memeluk Islam setelah mendengarkan cerita Cak Nur
tentang Muhammad, dan dia ingin belajar lebih banyak
tentang Islam. Tapi setelah Cak Nur bilang seperti
itu, layaknya sudah padam keinginan itu. Islam bagi
Marx adalah perjuangan kelas seperti di jaman
Muhammad, selebihnya Marx tidak perduli.

Bukankah kau sendiri pernah bilang Marx, kritik
surga adalah kritik dunia, kritik agama adalah kritik
politik. Agama tak lebih sekedar alat, tujuannya tentu
bukan agama itu sendiri. Tujuannya adalah rahmat bagi
semesta alam, kebahagiaan lahir batin semua makhluk.
Sebagaimana komunisme kan juga alat, tujuannya sama
juga kan.

Marx tertegun, dia terbayang sekilas perjalanannya
sehingga terdampar di Indonesia. Setelah mati dalam
keadaan miskin dan keluarganya kelaparan di Inggris
sana, roh Marx melanglang buana kemana-mana. Sampai
suatu ketika sampailah dia di Indonesia. Dia
berjalan-jalan di pelosok-pelosok, kemiskinan dan
penderitaan masih mewarnai seluruh penjuru. Tapi
penyebab kemiskinan bukanlah agama, tetapi sistem yang
bobrok. Agama sering menjadi tumbal karena dengan
agama orang memperburuk sistem yang bobrok.

Kau tahu Marx, apa yang perlu dilakukan di Indonesia
yang sudah parah ini..?

Revolusi, tiada kata lain. Tapi revolusi damai,
Rusia dan Cina telah membuka mataku bahwa komunisme
radikal tidaklah juga berguna, karena human costnya
terlalu besar. Yang paling penting adalah perbaikan
infrastruktur politik sehingga rakyat kebanyakan yang
menentukan arah pembangunan bangsa, dengan sendirinya
ekonomi akan kembali dipegang oleh rakyat, bukan oleh
kapitalis ataupun oleh birokrat.

Apa yang kau maksud perbaikan infrastruktur politik
itu Marx..?

Cak Nur mulai mengerutkan keningnya, tanda dia sudah
mulai serius mendengarkan apa yang dibilang Marx.

Institusi politik dari bawah sampai ke atas. Karena
institusi di pusat sudah tidak bisa diharapkan, yang
dikembangkan adalah institusi yang ada dan berkembang
di desa-desa itu. Segala bentuk perkumpulan yang
berdasarkan musyawarah mufakat, toh sudah ada
sebenarnya, tapi tidak digunakan secara maksimal.
Terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak,
terutama kekayaan alam, semuanya harus dikelola
bersama oleh masyarakat setempat, pendatang ataupun
asli tidak masalah. Kalau kekurangan modal, itu tugas
negara untuk mengucurkan dananya, jangan dikucurkan
lagi kepada bajingan-bajingan ekonomi yang akhirnya
malah gak pada bayar utang itu.

Bagaimana mewujudkan itu Marx..?

Itu tugas kita bersama Cak Nur. Penyadaran dan
sekaligus rencana sistemik harus ada. Aku hanya
membayangkan, bahwa permulaannya haruslah dari
institusi di desa-desa yang mayoritas di Indonesia
itu. Masyarakat harus dididik untuk mandiri dan
berorganisasi secara benar. Kalau tuntutannya tidak
dituruti, mogok atau demonstrasi.

Tidak Marx, aku rasa yang perlu dididik malah bukan
rakyat. Elit politik dan middle class lah yang perlu
pendidikan, mereka inilah yang bodohnya keterlaluan.
Kalau perlu dibasmi saja elit-elit yang korup itu, dan
middle class yang picik dan oportunis juga perlu
dibasmi.

Lho, bagaimana ini. Aku memeluk Islam, malah
sekarang Cak Nur yang mengadopsi komunisme.

Sekarang aku baru ingat, bahwa ketika negara sudah
hancur sistemnya, satu-satunya jalan adalah kekerasan.
Revolusi yang dipimpin kaum muda, seperti yang
dilakukan Muhammad dulu memerangi Quraisy.

Cak Nur ini bagaimana, kan sudah kubilang human
costnya terlalu tinggi.

Lebih baik kehilangan manusia-manusia bajingan itu
daripada setiap detik kehilangan anak-anak yang mati
karena kelaparan.

Ya Cak Nur, tetapi Muhammad menggunakan kekerasan
hanya kalau diperlukan saja. Bukankah Cak Nur cerita
kalau Muhammad menaklukkan Mekkah akhirnya dengan
damai tanpa korban terlalu banyak.

Sudahlah, kau tidak tahu Indonesia. Kondisi di sini
lebih parah daripada Mekkah. Jaman Muhammad musuhnya
jelas, sekarang ini musuhnya justru orang-orang Islam
sendiri. Revolusi atau mati..

Rupanya mereka berdua lupa, kalau mereka sudah mati.
Roh mereka sudah tidak bisa berbuat apa-apa di dunia
wadak. Akhirnya mereka tertawa-tawa menyadarinya.


credit to : nabble.com

0 komentar: